Cerita Dewasa Wawancara Skripsi Bersama Ida

Cerita terbaru ini bermula ketika aku disodorkan sebuah judul skripsi atau thesis oleh seorang mahasiswi untuk dibantu penyusunannya dengan alasan ia sendiri punya keterbatasan untuk menyusunnya, baik karena kurang memiliki buku-buku rujukan maupun belum pengalaman menyusun, apalagi dengan ketikan komputer.

Karenanya, lewat informasi dariteman-temannya, ia (sebut saja namanya Ida) datang ke rumahku menawarkan sebuah judul yg sudah diterima oleh ketua jurusannya untuk dibahas lebih lanjut.


Cerita Dewasa Wawancara Skripsi Bersama Ida


Karena profesiku sehari-hari memang bergerak di bidang jasa pengetikan komputer dan penyusunan karya ilmiah, termasuk bimbingan penyusunan karya ilmiah, maka tentu aku berusaha untuk tdk menolak tawaran itu, meskipun waktu penyelesaian yg diberikan hanya seminggu. 

Tanpa pikir panjang, aku langsung menerima tawarannya dengan biaya yg tertera dalam formulir pesanan yg telah kusediakan. Setelah selesai mengisi formulir pesanan yg kusodorkan, lalu kuamati identitas dan judul yg ditulisnya dalam formulir itu.

Aku berpikir bahwa judul tersebut termasuk agak berat ringan, namun bisa diakali atau spekulasi, sebab menyangkut problem yg banyak dibicarakan oleh masmedia dewasa ini. Redaksi judulnya adalah “Perselingkuhan dan Dampaknya terhadap Keharmonisan Rumah Tangga”. Buku-buku yg membahas tentang perselingkuhan, masih sangat terbatas di kota tempat tinggal kami (sebut saja kota Wp) yakni salah satu kota kabupaten di Sulsel.


“Wah berat sekali judulnya ini, bisa nggak mencari buku-buku rujukannya,” kataku setelah membaca isi formuliar pesanan yg telah ia isi itu.

“Nanti kuusahakan cari buku rujukannya kak,” janjinya.

“Tapi judul ini nampaknya perlu juga penelitian lapangan dik, karena menyangkut problem rumah tangga yg nggak sulit ditemukan faktanya di daerah kita ini.

Lagi pula saya yakin buku rujukannya sangat terbatas, sehingga perlu ditunjang dengan hasil wawancara atau angket,” alasanku.

“Jadi bagaimana caranya kak? Apa aku harus wawancara dengan mereka yg selingkuh?” tanya Ida sambil ketawa seolah ia malu melaksanakannya.


Dan memang harus dimaklumi karena ia masih tergolong gadis pemalu. Ida merupakan sosok wanita yg sedikit kalem, sikap dan penampilannya cukup sederhana. Tubuhnya langsing dengan wajah berseri-seri.

“Apa adik nggak mampu melakukannya atau malu?” tanyaku singkat.

“Aku sangat malu kak, palagi bicara soal rumah tangga, tentang selingkuh lagi, khan nggak enak rasanya kak” katanya terus terang.

Setelah kupikir dan pertimbangkannya, aku lalu menawarkan jalan lain.


“Gimana kalau anda beri surat kuasa padaku, biar aku yg wawancara sama teman atau orang lain yg kuketahui selingkuh,” tawaranku padanya.

“Wah, malah itu jalan yg terbaik kak. Buat aja surat kuasanya kak, nanti kutandatangani. Soal biaya yg kakak keluarkan sehubungan dengan penelitian ini, aku siap tanggulangi semuanya asal bukan saya yg disuruh melakukannya,” katanya seolah gembira sekali menyambutnya.

“Tapi terus terang aja dik, mungkin aku hanya minta kepada mereka agar bersedia menandatangani surat keterangan penelitiannya. Soal kejadian dan dampaknya, biar aku yg rekayasa kalimatnya,” jelasku pada Ida.

“Nggak masalah kak. Yg penting karya ilmiahku bisa selesai dan ditandatangani oleh pembimbing serta aku bisa ikut ujian meja bersama teman-teman dalam waktu dekat ini,” katanya pasrah padaku.


Saat itu pula aku langsung ketik suarat kuasanya lalu ditandatangani oleh Ida, kemudian ia minta izin pulang setelah aku mencatat Nomor telepon rumahnya.

Setelah lima hari kemudian, aku sudah menyusun dengan matang konsep yg akan aku jalankan lebih lanjut. Aku hubungi dan minta agar Ida datang ke rumah pada pukul 19.00 wita guna membicarakan soal penyelesaian karya ilmiahnya.

Sementara aku makan malam bersama keluarga, terdengarlah ada orang yg mengetuk pintu. Aku yakin itu pasti Ida. Istriku segera keluar membukakan pintu, ternyata betul Ida datang sebelum jam 19.00 wita. Mungkin ia anggap panggilanku itu sangat penting, apalagi menygkut soal penyelesaian karya ilmiahnya.


“Silahkan duduk dik,” kata istriku setelah Ida masuk.
“Langsung aja gabung di sini dik, kita makan sama-sama,” teriakku dari dalam ruang makan.

Istriku tdk pernah curiga dan cemburu terhadap setiap wanita yg datang kerumah, karena tujuannya sangat jelas.

“Terima kasih kak. Teruskan aja makannya. Aku baru aja makan di rumah,” teriak Ida dari luar setelah ia duduk di kursi tamu yg tersedia.

“Begini Ida, aku sengaja memanggilmu ke sini untuk membicarakan soal kesimpulan penelitian yg akan saya muat dalam karya ilmiah anda. Aku takut kerja dua kali. Jadi sebelum aku muat, aku mau minta tanggapan dan keputusanmu dulu,” jelasku ketika aku selesai makan dan duduk berhadapan dengan Ida.

Sementara istriku masih makan bersama dengan dua orang putraku. Kupikir mereka masih lama di ruang makan, sebab ia pasti meneruskannya dengan cuci piring, bikin air panas buat aku dan Ida. Masih banyak kesempatan yg bisa kami gunakan untuk bicara secara bebas tanpa mengundang kecurigaan dari istriku.


“Atur sajalah kak mana baiknya. Aku serahkan penuh keputusannya semua pada kak, karena kakaklah yg lebih tahu mengenai hal ini semua,” katanya pasrah, meskipun ia belum tahu niat dan spekulasiku memanggilnya.

“Ida, terus terang dik.. Ada sesuatu yg akan saya tawarkan padamu, tapi aku malu dan takut kamu tersinggung dan marah padaku,” kataku pada Ida dengan suara sedikit pelan karena takut kedengaran istri.

“Katakan saja kak, aku nggak akan tersinggung kok, apalagi marah. Itu bukan watakku. Lagi pula kenapa mesti marah jika memang itu adalah kepentingan penyusunan karya ilmiahku. Aku siap bantu kak sepanjang aku mampu,” kata Ida tanpa ragu dan berpikir curiga atas maksudku.

Meskipun penuh keraguan, bahkan bisa beresiko buruk jika Ida tdk setuju, namun tetap aku beranikan diri menyampaikan niat bejatku.


“Bbbegini dik Ida, maaf sekali lagi. Penelitian kita tdk boleh semua rekayasa dan mesti ada sedikit data pembuktian. Sementara aku sangat kesulitan mendapatkan bukti otentik, karena jarang sekali pria mau mengakui perselingkuhannya dan juga sulit ditemukan istri yg mau mengungkapkan secara jujur akibat yg dirasakannya dari perselingkuhan suaminya,” paparku menjelaskan alasanku pada Ida.


Setelah terdiam, tunduk dan berpikir sejenak, maka Ida pun bertanya.

“Jadi kira-kira bagaimana baiknya kak agar kesulitan kak bisa teratasi”
“Rela nggak berkorban demi penyelesaian karya ilmiahnya dik?” tanyaku.

“Sepanjang aku mampu, tentu saja aku akan usahakan kak. Khan sudah berulang-ulang kali kukatakan pada kak,” katanya sedikit tegas, namun entah apa ia tahu apa yg akan kuminta darinya atau sama sekali tdk terpikir olehnya.

Tapi nampaknya ia tdk ragu-ragu mengatakannya.

“Betul? Janji?” tanyaku tegas sambil mengulurkan tangan untuk salaman dengannya sebagai tanda perjanjian kami. Ida pun menyambut tanganku.

“Mumpung istriku masih di dalam Ida, kita bisa atur strateginya saat ini juga, sebab tawaranku ini sangat rahasia dan hanya kita berdua yg bisa ketahui,” kataku sangat pelan dan hanya bisa didengar oleh Ida.

Setelah terdiam, tunduk dan berpikir sejenak, maka Ida pun bertanya.

“Jadi gimana caranya kak? Rahasia bagaimana yg kak maksudkan. Katakan aja sekarang agar aku tdk penasaran untuk mendengarnya,” desaknya.

“Aku akan menulis pertanyaan rahasia itu di komputer dan kamu menjawab langsung dengan kata ‘ya’ jika setuju dan ‘tdk’ jika tdk setuju ketika aku bertanya padamu begini?.”


“Kamu harus pura-pura membacakan isi sebuah buku tentang kehidupan rumah tangga yg harmonis, sebab kebetulan judul buku itu ada di sini dan aku seolah-olah menulis apa yg kamu bacakan, meskipun sebenarnya yg kutulis di komputer nanti adalah sejumlah pertanyaan yg harus kamu jawab ‘ya’ atau ‘tdk’” jelasku pada Ida meskipun ia tdk segera memahami maksudku, namun setelah aku menjelaskannya beberapa kali, akhirnya iapun mengerti.


Setelah kami sepakat untuk melakonkan sandiwara itu di depan komputer, kamipun saling terdiam tanpa saling memandang. Namun sikap kami itu tdk berlangsung lama sebab istriku tiba-tiba muncul membawa 2 cangkir air teh buat kami. Istriku tdk nampak ada rasa curiga pada kami, malah dia bercanda karena ia tdk sempat bikin kue buat Ida.

“Silahkan diminum dik, kebetulan nggak ada tulangnya nih,” canda istriku.
“Terima kasih bu’, aku merepotkan aja,” kata Ida pada istriku.

“Silahkan diminum dulu dik, atau kita bawa aja masuk di kamar komputer sambil anda membacakan datanya biar proses penyusunannya agak cepat,” kataku dengan suara yg sedikit besar agar didengar langsung oleh istriku yg sedang duduk di sampingku sambil aku berdiri membawa secangkir teh masuk ke kamar kerjaku dan disusul pula oleh Ida setelah minta izin sama istriku, bahkan istriku sendiri yg membawakan tehnya dan meletakkannya di atas meja komputer lalu minta izin pada kami untuk nonton acara TV Sinetron kesukaannya yakni Kehormatan di ruang dalam.


“Silahkan dibaca dik,” kataku sengaja memperdengarkan istriku yg sedang berbaring di depan TV.

Sementara Ida duduk di kursi yg telah kusiapkan kurang lebih 50 cm di samping kananku dan aku sendiri duduk persis di depan layar komputer. Ida membaca isi buku yg dipegangnya kata demi kata layaknya orang yg mendiktekan, namun aku tdk menulis apa yg dibaca, melainkan aku mulai buat pertanyaan buat Ida.

“Begini tulisannya?” kataku seolah menulis apa yg dibaca itu, namun aku menuliskan pertanyaan bahwa “Apa anda siap duduk di situ hingga jam 10 malam?” tulisku di layar komputer.

“Ya,” jawab Ida di sela-sela kalimat yg dibacanya.

“Begini?” tanyaku lagi sambil menulis pertanyaanku, “Anda bisa maju dan bergeser ke arahku agak lebih dekat lagi?”

“Ya,” jawab Ida lagi sambil menggeser kursinya agak lebih dekat lagi.

Meskipun yg kedengaran dari mulutku hanya kata “begini”, namun pertanyaan yg kuajukan ke Ida lewat layat komputer banyak sekali. Hampir semua pertanyaanku dijawab dengan kata “ya” oleh Ida, termasuk pertanyaanku tentang apa Ida sudah punya pacar, pernah jatuh cinta, pernah dirasakan belaian pria, pernah dipegang tangannya, rambutnya, wajahnya, pahanya, payudaranya oleh pacarnya.

Bahkan Ida juga mengiyakan pertanyaanku soal cium mencium dengan pacarnya. Namun ketika pertanyaanku mengarah lebih dalam lagi, terutama soal pernah tidur bersama dan bersetubuh dengan pacarnya, maka tiba-tiba ia jawab dengan kata tegas

“Tdk”.

Komunikasi kami berjalan lancar meskipun yg kedengaran keluar dari mulutku hanya kata “begini atau begini tulisanya?”, lalu dijawab oleh Ida dengan kata “ya atau tdk” hingga waktu tdk dirasa sudah menunjukkan pukul 9.30 malam.


Setelah aku kehabisan bahan dan telah kukorek semua kepribadian Ida, aku lalu minta izin sama Ida untuk masuk buang air kecil sekaligus untuk memastikan keadaan istriku apa ia tdk mengintip atau mencurigai kami dalam kamar kerjaku, meskipun pintu ruanganku sengaja kubuka agar tdk ada rasa curiga dari istriku. Ternyata anak dan istrikut telah tertidur semua di depan TV, sebab kebiasannya memang suka tertidur ketika nonton.


Cerita Dewasa Wawancara Skripsi Bersama Ida

Aku sedikit lega dan merasa ada peluang untuk sedikit bereaksi bersama Ida setelah kuketahui kelemahannya. Karenanya, setelah buang air kecil, aku segera masuk dan duduk kembali seperti semula di samping kiri Ida, namun aku sengaja mendorong sedikit pintu agar tdk terlalu terbuka tanpa dilihat oleh Ida.

“Ayo kita lanjutkan sedikit Ida mumpung masih belum larut malam,” kataku sambil sedikit bergeser ke arah kursi Ida.

“Begini Ida?” tanyaku dengan tekanan suara yg mulai rendah sambil memperlihatkan sebuah pertanyaan lagi dengan kalimat

“Apa pacarmu pernah mengelus-elus pahamu?”.

Ida lalu menjawab, “Ya”. Namun ia sangat kaget dan tersentak sejenak ketika aku bertanya,

“Seperti ini?” sambil kupegang dan kuelus pahanya yg dilapisi celana panjangnya yg agak tipis dan halus kainnya.

“Yyya.. Ah.. Titidak” jawabnya seolah ketakutan.

Bahkan sempat bergeser dan bermaksud menjauh dariku ketika aku menulis pertanyaan,

“Pernahkah pacar anda meremas payudaranya?” lalu kuperlihatkan Ida sambil berkata,

“Begini Ida?” sambil aku berbalik menghadap padanya dan segera meremas kedua payudaranya dari luar bajunya.


Kali ini ia tdk melepas kedua tanganku dari payudaranya, tapi ia mencoba berdiri lalu menengok keluar ke arah istriku seolah ia hanya takut sama istriku.

“Tenang Ida, istri dan anak-anakku sedang tidur,” bisikku pada Ida ketika ia mencoba menghindar dari perlakuanku, namun ia duduk kembali setelah melihat dengan jelas istriku sedang tidur pulas di depan TV melalui celah pintu yg sedikit terbuka.

“Kenapa harus sampai begini kak? Aku malu, takut dan tdk biasa diperlakukan seperti ini” tanyanya padaku dengan suara sedikit berbisik namun cukup mengerti kalau kami harus bertindak super hati-hati.


“Maaf dik, jika ini terpaksa harus kita lakukan di tempat ini, bukankah adik sendiri yg telah berjanji akan memberikan pengorbanan sesuai kemampuannya asal penyusunan karya ilmiahnya berjalan lancar?” kataku terus terang dan mengingatkan janjinya.

“Wah, ternyata kak menafsirkan sampai ke situ. Aku nggak pernah berpikir sampai ke hal itu kak, tapi.. ” katanya seolah tdk tahu arahku ke situ.

Namun aku yakin ia tdk bakal menolak tindakanku lebih jauh karena Ida tiba-tiba berucap

“tapi..” yg menandakan adanya peluangku lebih jauh.

Aku sudah berhenti membuat pertanyaan tertulis di layat komputer dan Ida pun meletakkan buku yg dibacanya sejak tadi. Kini kami saling berhadapan dan saling mengerti perasaan serta berkomunikasi langsung, namun suara kami sangat kecil, sehingga hanya kami berdua yg bisa mendengarnya.

Kami tentu harus waspada dan takut ketahuan oleh istri jika tiba-tiba ia terbangun. Kami betul-betul berani memanfaatkan kesempatan yg beresiko dan sempit itu. Sambil mengawasi terbangunnya istri yg sedang tidur, kami juga mengurangi bisikan dan komunikasi.


Bahasa yg kami gunakan adalah mimik atau isyarat. Takut sekali bersuara. Tanganku mulai memegang paha Ida dari luar celananya, memegang kedua payudaranya yg terbungkus, merangkul dan mencium pipi lalu leher dan singga di bibirnya.

Aku sedikit menikmati kecupan bibir Ida yg menyambut serangan bibir dan lidahku di mulut sampai rongga mulutnya.

“Ida, kita tdk boleh menunda-nunda permainan ini. Kita harus segera tuntaskan siapa tahu istri saya terbangun lalu heran kenapa nggak ada suara-suara kita seperti tadi. Ayo bantu aku dik,” bisikku di telinga Ida ketika aku dan mungkin Ida juga terangsang, apalagi tiba-tiba diliputi rasa takut.


“Yah kak, aku takut sekali. Cepat-cepat selesaikan kak,” balas Ida seolah menerima baik tindakanku ini.

Ida segera membuka 2 kancing bajunya untuk memberi kesempatan agar aku segera meremas susunya dan mengisap putingnya yg nampak tegang kecoklatan. Akupun tdk menyia-nyiakan kesempatan emas ini dan segera meraih bukit kembar yg putih mulus itu. Sangat mungil karena belum pernah dijamah oleh pria lain kecuali hanya pacarnya yg pernah meremasnya dari luar bajunya, apalagi usianya baru berkisar 20 tahun.


Setelah aku puas menjilat, mengisap dan memainkan bukit kembarnya, tanganku berpindah ke bawah yg sudah mulai ada jalan masuk karena telah terbuka kasper celananya dari depan, sehingga tanganku dengan mudah meraba, mengelus dan menekan biji daging yg terasa bergetar-getar yg ada di antara kedua bibir bawahnya.

Karena sepakat akan menuntaskan seluruh permainan kami di kamar kerjaku itu, maka wajar jika kami saling membantu dan memudahkan terlaksananya hajat kami. Tanpa kuminta, Idapun melorot sedikit celananya hingga di atas lututnya.

Aku tak sempat melihat apa Ida memakai celana dalam atau dilorit bersama celana panjangnya, tapi yg jelas paha mulus lagi putih itu terlihat dengan jelas, bahkan sampai ke batas pinggangnya. Namun Ida masih tetap dalam posisi duduk berhadapan denganku, sehingga aku sulit melihat dengan jelas barang mewah yg ada di selangkangannya tapi aku bisa meraba dan memainkannya dengan mudah.


Mulutku akrab menempel di payudara kirinya, sementara tangan kiriku melekat di payudara kanannya dan tangan kananku tak mau pisah dengan sebuah daging yg tertancap pada dua bibir bawah di antara selangkangannya.

“Sssttt… Aahhh… Khkh… Cceeepat kak selesaikan, aku sudah nggak tahan nih,” bisik Ida ditelingaku ketika aku semakin memainkan mulut dan tanganku pada kedua alat sensitifnya itu sambil berusaha menurunkan sedikit celananya hingga lutut.

“Sabar dik, aku nggak mau rasanya berhenti dan ingin menikmati sampai pagi,” bisikku sambil mempercepat gerakan tangan dan mulutku.


Namun Ida mencubit pinggangku lalu ia segera berdiri dan kedua tangannya langsung membuka ikat pinggang berikut kait serta kasper celanaku dengan lincah sekali. Setelah terlepas, kedua tangannya segera menurunkan celanaku, namun sedikit tertahan karena aku masih duduk di atas kursi, tapi aku sangat mengerti sehingga aku mengangkat pantat untuk memudahkan ia menurunkan celanaku hingga lutut.


Tanpa disentuh dan digocok, k0ntolku dengan sendirinya berdiri mengacung bagaikan kepala ular berbisa yg mau mematuk mangsanya.

Tanpa perintah atau komando, Ida tiba-tiba duduk di antara kedua pahaku dan meraih ujung k0ntolku lalu mengarahkan ke lubang memeknya yg sedikit basah dan licin itu, lalu merangkul leherku. Ia mulai menggoyang sedikit pinggulnya ke kiri dan kekanan agar k0ntolku dapat dengan mudah masuk ke lubang sasarannya, namun agak sulit.


Selain karena memek Ida ditumbuhi bulu hitam yg cukup lebat, juga memeknya kuyakini belum terbiasa dimasuki benda tumpul seperti yg kami usahakan masuk saat ini.

Aku mencoba membantu untuk memasukkannya dengan memegang k0ntolku serta membuka kedua bibir memeknya dengan kedua tanganku, tapi belum bisa amblas meskipun separohnya sudah mulai masuk dan kurasakan senti demi senti melejik ke dalam, apalahi gerakan pinggul dan tangan Ida tdk mau berhenti.

Aku sebenarnya masih ingin menikmati permainan kami dengan lama sekali, tapi tiba-tiba terpikir akan terbangun istriku karena suara kaki kursi plastik yg selalu bergerak-gerak seiring dengan gerakan kami, maka aku konsentrasi lagi untuk menuntaskannya dengan segera.


Gerakan pinggulku mengikuti gerakan pinggul Ida dan kami saling menekan masuk hingga akhirnya bisa amblas seluruhnya. Bunyi decak, decik, decukk, cak.. cikkk.. cukkk pun cukup menyela keheningan malam itu, yg membuat aku semakin khawatir istriku terganggu dan terbangun, sehingga kami mengatur kembali gerakan.

Meskipun pakaian kami hanya terbuka sedikit sekali dan gerakan serta suara kami sangat terbatas, namun cukup bisa kami nikmati permainan kami itu. Bahkan belum pernah kurasakan kenikmatan seperti itu dari istriku. Mungkin karena ini hasil curian atau karena ketdk leluasaan kami yg membuat permainan kami lebih nikmat dan lebih berkesan.

Kembali lagi Ida menghentak-hentakkan pantatnya ke pahaku seiring dengan keluar masuknya k0ntolku ke dalam memeknya, bahkan ia seolah tak sadarkan diri lagi dan gerakannya semakin dipercepat ketika aku mencoba mengangkat sedikit pantatku agak masuknya lebih dalam lagi.


Tanpa berkata apa-apa, Ida terasa gemetar sekujur tubuhnya dan keringatnya yg bercampir dengan keringatku jatuh membasahi kursi tempat dudukku. Akupun mengerti kalau Ida sudah berada di ambang pintu kenikmatan yg luar biasa, maka aku mencoba menahan cairan hangat yg juga mulai terasa menjalar ditubuhku dan mendesak mau keluar lewat k0ntolku.

Ida tiba-tiba merangkulku dengan keras, menggigit sedikit bahuku dan mencakar-cakar punggungku, lalu terasa lemas lunglai.


Ketika Ida terasa lemas seolah kehabisan tenaga, aku yakin kalau ia sudah melewati klimaksnya. Kini giliranku untuk mencapainya, lalu aku segera mengangkat tubuh Ida dan memutar sehingga posisi membelakangiku.

Mau tdk mau ia terpaksa pegangan di didinding kamar, lalu kutekan sedikit kepalanya agar ia lebih nungging lagi. Setelah terlihat lubang kenikmatannya dengan jelas, aku segera arahkan k0ntolku masuk ke dalamnya dan menekannya agar masuk lebih dalam, lalu kugenjot dengan keras dan cepat bolak balik maju mundur hingga akupun merasakan ada cairan hangat yg kental tumpah ke dalam lubang kenikmatan Ida.


Aku sengaja dan tdk takut akibatnya, sebab zat Ida yg bakal membuahi sudah keluar sejak tadi, sehingga tdk mungkin bisa ketemu dan terbuahi. Hal itu kuyakini sesuai praktek kami bersama istri selama ini. Setelah kami sama-sama mencapai puncak kenikmatan, kami lalu berpelukan sejenak dan saling memberi kecupan sebagai tanda terima kasih dan saling puas.

Tanpa menunda waktu sedetikpun, kami segera memperbaiki kembali posisi pakaian kami masing-masing seperti semula lalu duduk sejenak sambil berpandangan dengan senyum puas dan bahagia yg kami rasakan.


Kami sudah tdk konsentrasi lagi terhadap karya ilmiah dan penelitian yg sedang kami proses. Bahkan sebelum istriku bangun, Ida minta izin untuk pulang, tapi aku sempat membisikkan sebuah kalimat di telinganya.

Foto Bugil Bintang Bokep Japan AV Yuri Satomi

“Sudah mengerti yg namanya selingkuh sayang? Inilah bukti selingkuh yg sebenarnya dan data inilah yg paling otentik dari semua hasil penelitian kita, karena sama sekali bukan rekayasa melainkan betul-betul berdasarkan fakta dan pengalaman nyata kita sendiri,” bisikku sambil memberi ciuman terakhir dan merangkulnya sekali lagi dengan eratnya.

Ida hanya membalas dengan senyum dan sedikit cubitan di pinggangku. Ida pun melangkah keluar lalu naik ke motornya seolah penuh bahagia.


Bersambung - Bagian 2

Related Posts

Cerita Dewasa Wawancara Skripsi Bersama Ida
4/ 5
Oleh